AMBISI SEMU

Terkadang kita harus melakukan suatu hal yang tidak kita senangi karena suatu alasan kuat yang tak pernah kita pikirkan ulang apa yang menjadi pondasi kuat di belakangnya. Terkadang kita hiraukan apa itu alasan, apa itu hikmah, apa itu tujuan. Ketika semua alasan hadir memojokkan kita dengan berbagai alasan kuat, tersadarlah kita akan hal yang selama ini kita agungkan.Kita lakukan.
Layaknya seekor kepompong yang tak akan beranjak keluar meninggalkan wadah persinggahannya. Kebanyakan manusia pun tak akan keluar menghadapi dunia jika tak ada separuh keindahan yang akan dibawa. Di bawah tudung besar kepercayaan, mereka menata hati, pikiran, ukuran serta dunia agar selamat dari cengkeraman alam. Berbagai kekhawatiran mendalam terus memenuhi pikiran di setiap nano langkah yang mereka ambil. Begitu sibuk pikiran mereka sampai melupakan apa saja yang ada di bawah kaki sejajar jalan yang bisa menjatuhkannya ketika berjalan. "Tak memerdulikan sekeliling yang penting sampai dengan selamat dan tak memalukan", mungkin itu yang mereka pikirkan. Padahal jika kita berpikir jernih tak tertindih, hal-hal terkecil akan menghalangi langkah akan menghilang sempurna. Namun mata ambisi kita terus tertuju pada satu titik keagungan. Titik yang kita anggap puncak tertinggi dalam kasta kehidupan, belum tentu sang Pemilih memilihnya. Mencari kesempurnaan yang tak ada habisnnya dan merelung hati hingga pintu kesadaran terbuang percuma.
Dalam perjalanan, orang sekeliling memanggil bahkan menjerit untuk mengingatkan. Tak jarang mereka menawarkan bantuan. Dan tak jarang pula kebanyakan manusia menolak karena alasan prestige. Mereka tak membutuhkan sekeliling, mereka hanya membutuhkan hal yang menyumpal di dalam pikiran segera teraksana. Mereka tak peduli, mereka ingin menggondol emas dengan tangan mereka sendiri, mereka ingin menikmati sendiri.
Hingga sampailah mereka pada tempat yang mereka anggap paling sempurna. Datang dengan kaki, tangan dan mata penuh goresan. Perjuangan setengah hidup yang mereka perjuangan diperolehnya dengan bangga. Mengacungkan telunjuk seolah berkata siapa tuan manusia. Kekuatan, kekuasaan, tahta dan kebahagiaan mereka dapatkan. Mereka terus mempetontonkannya hingga kemegahan menguning rapuh menunggu waktu.
Hampa terasa ketika tak ada orang yang turut mendalam menikmati hasil jerih payah. Tak ada teman. Kemegahan tak dapat diajak bicara. Kekuatan tak bisa diajak memompa. Tulang mengecil tubuh menguning. Pikiran telah menggerogoti tubuh mereka dengan ganas. Memprotes tiap detik ingatan masa lalu yang terus memerkerjakannya tanpa henti. Memprotes mengapa tiap jengkal ruang kosongnya hanya diisi dengan kekuasaan dan pengakuan. Memprotes hingga mereka berteman dengan daun berguguran.

Ya begitulah rata-rata seorang pemikir menjalani hidupnya. Penuh dengan kekhawatiran, kecemasan yang tak ada ujung dan berakhir sia-sia. Hingga hidup mereka hanya terkenang sebatas debu mengambang saja. Hidup saja sebatas mimpi tak berarti.




0 komentar:

Posting Komentar